MEMANG satu ketika dulu, aku rasa jarak dan waktu tak mungkin jadi pemisah dan memang itulah yang aku fikir sampai ke hari ni sebab tempat dia dalam hati aku tak pernah diambil oleh sesiapa dan tak mungkin diambil sesiapa. Dia istimewa bagi aku sebab ada masa-masanya dia mampu jadi kakak, ada masa-masanya dia bertukar jadi adik, ada masa-masanya dia jadi kawan dan ada masa-masanya pula statusnya hanya sepupu pada aku. Tapi ternyata, hanya aku sorang yang berfikir begitu sedangkan bagi dia, jarak dan waktu itulah yang memisahkan kami.
Anehnya rasa bila kami yang dulunya bagai isi dan kuku, makan sepinggan, minum secawan, kerap kali tidur sekatil dan saling bertukar rumah, tiba-tiba jadi orang asing. Kami duduk di tempat yang sama, saling bersebelahan tapi hanya beberapa patah kata yang lahir dari bibir. Aku hilang diksi, dia hilang rentak. Sedangkan mata sekali-sekali hanya memandang dengan hati yang hampa. Sudahnya, tempoh 24 jam jadi saksi betapa aku rasa terseksa jiwa raga sebab duduk di sisi dia. Kemesraan yang dah jauh tercicir seperti tak mampu untuk dikutip kembali. Padahal, saat kaki melangkah yang terdetik di hati, “Aku mahu saling bertukar cerita dengannya. 10 tahun aku dan dia hanya menyimpan cerita sendiri-sendiri. Menjalani hidup atas bumi ini dengan cerita suka dan duka masing-masing. Aku tahu dia ada kisah perit, dia pun tahu aku pernah menangis dalam pada kami tak berdekatan.”
Tapi kenyataannya, aku gagal merebut hati dia kembali. Akukah yang sudah berubah? Diakah yang berubah? Ataupun, jarak dan waktu benar-benar telah meragut sebuah kemesraan? Atau lebih kejam lagi, memang telah tertulis yang aku dan dia... harus terus menjalani hidup asing-asing walaupun dulu aku dan dia seperti satu, saling bergantungan. Tapi sungguh, aku sayangkan dia, aku sayangkan persahabatan kami dibandingkan ikatan yang lain. Hanya, aku tak mampu terus berlari bersama dia kalau dia lebih memilih untuk mendahului aku ataupun membiarkan aku melangkah ke depan tanpa dia.
Anehnya rasa bila kami yang dulunya bagai isi dan kuku, makan sepinggan, minum secawan, kerap kali tidur sekatil dan saling bertukar rumah, tiba-tiba jadi orang asing. Kami duduk di tempat yang sama, saling bersebelahan tapi hanya beberapa patah kata yang lahir dari bibir. Aku hilang diksi, dia hilang rentak. Sedangkan mata sekali-sekali hanya memandang dengan hati yang hampa. Sudahnya, tempoh 24 jam jadi saksi betapa aku rasa terseksa jiwa raga sebab duduk di sisi dia. Kemesraan yang dah jauh tercicir seperti tak mampu untuk dikutip kembali. Padahal, saat kaki melangkah yang terdetik di hati, “Aku mahu saling bertukar cerita dengannya. 10 tahun aku dan dia hanya menyimpan cerita sendiri-sendiri. Menjalani hidup atas bumi ini dengan cerita suka dan duka masing-masing. Aku tahu dia ada kisah perit, dia pun tahu aku pernah menangis dalam pada kami tak berdekatan.”
Tapi kenyataannya, aku gagal merebut hati dia kembali. Akukah yang sudah berubah? Diakah yang berubah? Ataupun, jarak dan waktu benar-benar telah meragut sebuah kemesraan? Atau lebih kejam lagi, memang telah tertulis yang aku dan dia... harus terus menjalani hidup asing-asing walaupun dulu aku dan dia seperti satu, saling bergantungan. Tapi sungguh, aku sayangkan dia, aku sayangkan persahabatan kami dibandingkan ikatan yang lain. Hanya, aku tak mampu terus berlari bersama dia kalau dia lebih memilih untuk mendahului aku ataupun membiarkan aku melangkah ke depan tanpa dia.
No comments:
Post a Comment